Beranda | Artikel
Mahasiswa Harus Berilmu Sebelum Bertindak
Selasa, 31 Juli 2012

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Kewajiban belajar agama bukan hanya bagi mahasiswa yang duduk di Jurusan Syari’ah atau yang belajar di Universitas Islamiyah. Mahasiswa teknik dan kedokteran serta mahasiswa mana pun punya kewajiban yang sama. Ada kadar wajib dari ilmu agama yang mesti setiap mahasiswa pelajari. Karena tidak adanya ilmu agama itulah yang menyebabkan mahasiswa banyak yang salah jalan dan salah langkah. Akhirnya ada yang asal berkoar, namun bagai tong kosong nyaring bunyinya dan ujung-ujungnya tidak mendatangkan maslahat malah mengundang petaka.

Dasari Segalanya dengan Ilmu

Seorang dokter misalnya tidak bisa mengobati pasien sembarangan, ia harus mendasarinya dengan ilmu. Jika ia nekad, maka bisa berujung kematian pada pasien. Begitu pula halnya dengan seorang muslim. Dalam beramal dan bertindak, ia harus mendasari segalanya dengan ilmu. Imam Syafi’i berkata,

مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ ، وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ

Siapa yang ingin dunia, wajib baginya memiliki ilmu. Siapa yang ingin akherat, wajib baginya pula memiliki ilmu.” (Dinukil dari Mughnil Muhtaj)

Ilmu tidaklah diperoleh tiba-tiba layaknya ilmu laduni yang diyakini kaum sufi. Namun ilmu itu diraih dengan belajar siang dan malam. Sebagaimana kata Ibnu Syihab Az Zuhri, seorang ulama di masa tabi’in, di mana beliau berkata,

من رام العلم جملة ذهب عنه جملة وإنّما العلم يطلب على مرّ الأيام واللّيالي

Siapa yang terburu-buru meraih ilmu dalam jumlah banyak sekaligus, maka akan hilang dalam jumlah banyak pula. Yang namanya ilmu dicari siang demi siang dan malam demi malam.” (Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam kitab Al Jaami’)

Jika seseorang tidak mendasari tindakannya dengan ilmu, ujung-ujungnya hanya mendatangkan bencana. Sebagaimana kata ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz,

مَنْ عَبَدَ اللَّهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ

Barangsiapa beribadah pada Allah tanpa ilmu, maka kerusakan yang ia perbuat lebih banyak daripada mendatangkan maslahat.” (Dinukil dari Majmu’ Al Fatawa Ibnu Taimiyah, 2: 382)

Ilmu yang Diprioritaskan

Tentu yang lebih diprioritaskan bagi setiap muslim untuk dipelajari adalah ilmu akidah dan tauhid. Karena kaum muslimin -bahkan banyak dari mereka- yang tidak mengetahui apa saja yang merusak akidah dan tauhidnya. Seperti akidahnya masih bercampur dengan pemahaman penolak atau penta’wil sifat. Ketika ditanyakan Allah di mana, jawabannya pun beraneka ragam. Padahal berbagai dalil sudah menyebutkan bahwa Allah itu menetap tinggi di atas ‘Arsy seperti ayat,

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah. Yang beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy” (QS. Thoha : 5). Sebagian ulama besar Syafi’iyah mengatakan bahwa dalam Al Qur’an ada 1000 dalil atau lebih yang menunjukkan Allah itu berada di ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya. Dan sebagian mereka lagi mengatakan ada 300 dalil yang menunjukkan hal ini.

Imam Asy Syafi’i berkata, “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya” (Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 165). Ini masalah besar tentang Allah, namun banyak yang keliru menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan bahwa Allah di mana-mana atau ada yang mengatakan bahwa Allah di dalam hati. Padahal ada perkataan keras dari Abu Hanifah, “Jika seseorang amengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.” Beliau mengatakan demikian setelah ada yang menyatakan bahwa ia tidak mengetahui di manakah Allah, di langit ataukah di bumi (Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 135-136).

Begitu pula sebagian mereka memahami bahwa sah-sah saja memberontak atau tidak taat pada penguasa apalagi penguasa yang berbuat maksiat semacam korupsi. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka” (HR. Muslim no. 1847).

Dalam Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan mengenai hadits di atas,

فتبين أن الإمام الذي يطاع هو من كان له سلطان سواء كان عادلا أو ظالما

“Jelaslah dari hadits tersebut, penguasa yang wajib ditaati adalah yang memiliki sulthon (kekuasaan), baik penguasa tersebut adalah penguasa yang baik atau pun zholim”

Imam Nawawi rahimahullah juga berkata,

وَأَمَّا الْخُرُوج عَلَيْهِمْ وَقِتَالهمْ فَحَرَام بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ ، وَإِنْ كَانُوا فَسَقَة ظَالِمِينَ.

“Adapun keluar dari ketaatan pada penguasa dan menyerang penguasa, maka itu adalah haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama, walaupun penguasa tersebut adalah fasik lagi zholim”  (Syarh Muslim, 12: 229).

Gara-gara tidak memahami akidah Ahlus Sunnah di atas, sebagian mahasiswa pun salah dalam bertindak ketika menyikapi penguasa yang zholim. Mereka sungguh lancang menggumbar aib penguasa di mimbar-mimbar dan tempat umum. Padahal yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tuntunkan adalah,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ لَهُ

Barangsiapa yang hendak menasihati pemerintah dengan suatu perkara maka janganlah ia tampakkan di khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangan penguasa (raja) dengan empat mata. Jika ia menerima maka itu (yang diinginkan) dan kalau tidak, maka sungguh ia telah menyampaikan nasihat kepadanya. Dosa bagi dia dan pahala baginya (orang yang menasihati)” (HR. Ahmad 3: 403. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lain).

Di antara mahasiswa pun ada yang masih percaya dengan ramalan dan hal-hal yang berbau klenik, yang itu semua tidak bisa lepas dari syirik dan menunjukkan cacatnya tauhid. Dari sini menunjukkan bahwa perlu adanya pembinaan akidah dan prinsip beragama yang benar. Setelah akidah dan tauhid ini dibenarkan, yang tidak kalah penting adalah mempelajari ibadah yang harus dikerjakan setiap harinya seperti wudhu, shalat dan puasa. Begitu pula ditambah dengan cara bermuamalah dan berakhlak terhadap sesama tidak kalah penting untuk dikaji dan dipelajari.

Jangan Asal-Asalan Bertindak

Jika kita sudah mengetahui prinsip penting dalam beragama, maka setiap mahasiswa pun harus menyadari bahwa mereka tidak boleh asal-asalan dalam bertindak. Walaupun kadang hasil mereka nyata, namun kalau jalan yang ditempuh keliru, yah kita katakan keliru. Lihatlah kisah yang disebutkan Abu Hurairah berikut.

Abu Hurairah berkata bahwa beliau mengikuti perang Khoibar. Lantas Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada orang yang mengaku membela Islam, “Ia nantinya penghuni neraka.” Tatkala orang tadi mengikuti peperangan, ia sangat bersemangat sekali dalam berjihad sampai banyak luka di sekujur tubuhnya. Melihat pemuda tersebut, sebagian orang menjadi ragu dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ternyata luka yang parah tadi membuatnya mengambil pedang dan membunuh dirinya sendiri. Akhirnya orang-orang pun berkata, “Wahai Rasulullah, Allah membenarkan apa yang engkau katakan.” Pemuda tadi ternyata membunuh dirinya sendiri. Rasul pun bersabda,

إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلاَّ نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ ، وَإِنَّ اللَّهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّينَ بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِ

Berdirilah wahai fulan (yakni Bilal), serukanlah: Tidak akan masuk surga melainkan seorang mukmin. Allah mungkin saja menolong agama ini melalui laki-laki fajir (ahli maksiat).” (HR. Bukhari no. 3062 dan Muslim no. 111).

Coba kita renungkan kisah di atas. Orang tersebut memang benar memperjuangkan Islam, namun ia keliru dan salah jalan karena ia membunuh dirinya sendiri. Sehingga yang benar adalah tempuhlah jalan yang benar dalam memperjuangkan Islam dan akan diperoleh hasil yang sesuai harapan.

Tidak cukup bermodalkan semangat, segala tindakan itu butuh ilmu. Kata Imam Bukhari, “Ilmu itu sebelum berkata dan bertindak.” Wallahu waliyyut taufiq. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

 

[Dari seorang mahasiswa S2 Teknik Kimia KSU Riyadh KSA yang peduli terhadap sesama]

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, pengasuh Muslim.Or.Id dan Rumaysho.com

 

Panggang-GK, 11 Ramadhan 1433 H

www.rumaysho.com


Artikel asli: https://rumaysho.com/2719-mahasiswa-harus-berilmu-sebelum-bertindak.html